Selasa, 19 Maret 2013

Menyimak Krisis Iklim Menggunakan Satelit

   Hasil penelitian Profesor Galen McKinley dari Universitas Wisconsin di Madison, AS, menyebutkan, kenaikan temperatur air dan udara memperlambat penyerapan gas karbon di laut pada zona subtropis. Sementara hasil penelitian Kees Jan van Groenigen, profesor dari Trinity College Dublin, Irlandia, mengungkapkan, peningkatan konsentrasi gas karbon dioksida (CO) selama lebih dari 50 tahun ini telah mempercepat pelepasan gas metana (CH) dan nitro oksida (NO) dari tanah (Kompas, 15/7).

    Hasil penelitian itu menjadi penting dan kontekstual karena isu pemanasan global saat ini (nyaris) selalu ”dituding” sebagai penyebab krisis iklim global yang terjadi.

    Penelitian McKinley belum lengkap karena data yang ada hanya meliputi bentang Atlantik Utara. Wilayah Pasifik masih tak tersentuh akibat ketiadaan data. Sistem iklim mengandung kompleksitas tinggi dan terjadi di bentang ruang yang luas, yaitu di atmosfer. Proses cuaca terjadi di lapisan atmosfer yang disebut troposfer, di ketinggian 14 kilometer-18 kilometer. Pengambilan data secara manual hampir mustahil.

    Kata iklim berasal dari bahasa Yunani Kuno klima yang berarti inklinasi. Iklim telah mengalami pergeseran definisi dan mencakup elemen meteorologi yang lebih luas. Definisi lama menyebutkan, iklim adalah rata-rata cuaca dalam jangka panjang—standar Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) adalah 30 tahun.

    Sekarang iklim dimaknai sebagai rangkuman data statistik, rata-rata dan variabilitas dari elemen-elemen meteorologi yang relevan, dalam rentang waktu tertentu—mulai bulanan, tahunan, bahkan hingga jutaan tahun. Dalam pemaknaan iklim seperti itulah isu perubahan iklim ”dituliskan”. Perubahan iklim diyakini terjadi akibat pemanasan global yang disebabkan oleh terperangkapnya energi panas matahari akibat meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca, seperti CO, CH, dan NO.

Penggunaan satelit

    Pengamatan elemen-elemen meteorologis menggunakan peralatan langsung ke lapisan atmosfer bermula pada tahun 1947 (www.fi.edu). Sebuah roket tak berawak dilengkapi kamera diluncurkan ke ruang angkasa. Kamera tersebut sukses merekam gambar Bumi dari luar angkasa. Foto yang dihasilkan menunjukkan gambar bentuk-bentuk awan dengan amat jelas. Para ilmuwan langsung menyadari bahwa pengamatan cuaca bisa dilakukan dari ruang angkasa.

    Tahun 1960, satelit cuaca pertama di dunia, TIROS (Television Infrared Observation Satellite), yang dilengkapi kamera video, diluncurkan ke orbit Bumi. Revolusi pengumpulan data cuaca terjadilah. Sejak itu, ramalan cuaca mulai didasarkan pada kombinasi data sistem cuaca dari pencatatan satelit dengan data cuaca lokal dari pengamatan di permukaan Bumi. Peramalan cuaca mengalami loncatan kemajuan. Sepanjang 1960-an, sekurangnya sembilan TIROS diluncurkan setelah kesuksesan TIROS pertama.

    Tahun 1966, AS menempatkan ATS (Applications Technology Satellite) di orbit lebih tinggi, yaitu orbit geostasioner, sekitar 35.800 kilometer di atas ekuator. Itulah satelit pertama di orbit tersebut. Satelit itu bergerak sama cepat dengan kecepatan rotasi Bumi sehingga dari bawah tampak seakan tak bergerak (stasioner). Satelit ATS menghasilkan gambar hemisfer secara utuh. Dari gambar bisa dilihat pergerakan awan dan proses terbentuknya badai di suatu wilayah yang cukup luas.

Pengembangan satelit memberikan sumbangan yang sedemikian besar bagi dunia meteorologi. Ramalan cuaca menjadi lebih akurat, sementara gambar atau foto cuaca juga mencakup area yang jauh lebih luas.

    Dengan menggunakan satelit, kendala-kendala pengamatan data cuaca akibat kompleksitas data iklim, perlunya kontinuitas pengamatan, dan keluasan cakupan data akhirnya teratasi. Peramalan cuaca pun menjadi semakin akurat karena rentang waktu pencatatan data cuaca lebih panjang serta data lebih banyak dan lebih beragam. Terjadinya badai bisa diprediksi hingga empat sampai lima hari sebelumnya sehingga jumlah korban dapat dikurangi secara signifikan karena tersedia waktu untuk menyelamatkan diri.

    Amerika Serikat mengembangkan program satelit cuaca dan satelit lingkungan dengan kerja sama antara Badan Kelautan dan Atmosfer AS (NOAA), Badan Penerbangan dan Antariksa AS (NASA), dan pihak Angkatan Udara AS.

    Ada dua jenis satelit. Yang pertama adalah Satelit Lingkungan Beroperasi di Geostasioner (GOES) yang bergerak di orbit geostasioner. Satelit ini beroperasi 24 jam sehari selama tujuh hari seminggu dengan menggunakan sensor inframerah dan foto visual untuk merekam data cuaca. Selain sensor inframerah, satelit cuaca sekarang juga dilengkapi dengan unit pantulan gelombang mikro (MSU) yang lebih sensitif terhadap awan.

    Program satelit AS yang lain adalah Satelit Lingkungan Beroperasi di Kutub (POES)—yang bergerak di atas Kutub Utara dan Kutub Selatan. Foto-foto cuaca dari kedua program tersebut disimpan di NASA. Selain AS, negara lain yang meluncurkan satelit cuaca adalah Jepang (GMS), komunitas negara Eropa (Meteosat), India, Rusia, dan China.

Menghindari megabencana

    Kini Panel Ahli Antarnegara untuk Perubahan Iklim (IPCC)—sekumpulan ahli meteorologi yang melakukan penelitian untuk memantau kondisi perubahan iklim global—mengandalkan data cuaca di atmosfer dari satelit. Produk data satelit yang terkait dengan atmosfer di antaranya adalah data hujan, data zat kimia dan ozon di atmosfer, serta perimbangan radiasi.

    Akhir tahun 2011, NASA berencana meluncurkan National Polar-orbiting Operational Environmental Satellite System (NPOESS) melalui Proyek Persiapan NPOESS (NPP). Satelit ini akan membawa sensor baru. Beberapa satelit lain terus mendeteksi perubahan iklim, diawali oleh satelit Terra and Aqua. Peluncuran NPP menjadi jembatan menuju peluncuran Joint Polar Satellite System yang menelan dana 11,9 triliun dollar AS (Rp 102.000 triliun dengan nilai tukar Rp 8.500 per dollar AS) pada tahun 2015.

    Kini nasib Bumi ”bergantung” pada satelit-satelit tersebut. Data yang mereka kumpulkan akan ”menentukan” nasib Bumi pada masa depan. Akankah manusia mampu merespons dengan bijak agar Bumi terhindar dari megabencana?
 
 Sumber : lapan.go.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar